Tuesday, April 21, 2009

Masanya Tetap Akan Sampai...

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan

salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya.

Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,

"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan

dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata

dan bertanya pada Fatimah,

"Siapakah itu wahai anakku?"

"Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,"

tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang

menggetarkan.

Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang

memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah,

Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa

Jibril

tidak ikut bersama menyertainya.

Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas

langit dunia

menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?", tanya Rasululllah

dengan

suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.

Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh

kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi.

"Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah

berfirman kepadaku:

Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di

dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.

Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah

bersimbah peluh,

urat-urat lehernya menegang.

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.", Perlahan Rasulullah

mengaduh.

Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan

Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?"

Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata

Jibril

.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak

tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini

kepadaku,

jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak

lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera

mendekatkan telinganya.

"Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum"

=> "Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling

berpelukan.

Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan

telinganya

ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii!"

="Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?

Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Perlu di ingatkan juga, adakah kita bersedia untuk bertemu dgn si pencabut nyawa ini??

1 comment:

istiazah said...

Kematian itu pasti.

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di
akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi
dibandingkan dengan nilai kehidupan di akhirat)
hanyalah sedikit."
(QS At-Tawbah [9]: 38).

Dengan mengingati mati, diri akan insaf.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...